Surat
Nomor 152/E/T/2012 yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti, membuat pro dan kontra
dari berbagai pihak. Bagaimana tidak? Surat Edaran Direktorat Perguruan Tinggi tersebut
berisi sebuah kebijakan yang membuat para civitas
akademika mengerutkan dahi mereka.
Surat yang dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 2012 itu merupakan sebuah surat
kebijakan yang cukup tidak realistis. Dalam SE (Surat Edaran) tersebut, setiap
mahasiswa yang akan lulus S1/S2/S3 harus membuat sebuah makalah ilmiah. Tidak hanya
itu, apabila mahasiswa menginginkan gelar kelulusan, makalah ilmiah yang mereka
buat harus dapat dimuat dalam sebuah Jurnal Ilmiah. Sungguh tidak realistis!
Mengapa? Karena menurut kami, hal tersebut hanyalah sebuah kebijakan tanpa
pemikiran. Kebijakan tanpa pemikiran disini maksudnya, memang kebijakan ini
bagus dan merupakan suatu terobosan yang maju untuk keadaan perguruan tinggi
saat ini. Akan tetapi, apakah mungkin kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan
baik? Apalagi dalam SE itu disebutkan pula bahwa peraturan tentang kewajiban mahasiswa
membuat makalah ilmiah yang termuat di jurnal ilmiah efektif dimulai pada bulan
Agustus tahun ini juga.
Padahal
hingga Oktober 2009 saja, menurut Indonesian Scientific Journal Database,
terdapat sekitar 2.100 journal yang berkategori ilmiah yang masih aktif. Dari
jumlah itupun hanya sekitar 406 jurnal yang telah terakreditasi. Sedangkan data
terbaru yang dikeluarkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI) pada tahun 2012 ini menyebutkan bahwa di
Indonesia, jumlah jurnal ilmiah (cetak) hanya sekitar 7.000 buah. Dari jumlah
tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih aktif menerbitkan jurnal ilmiah secara
rutin, bahkan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapat
akreditasi dari LIPI. Mari kita bandingkan dengan jumlah mahasiwa yang lulus per
tahun sendiri. Di Indonesia terdapat 3.000 perguruan tinggi serta ada sekitar
750.000 calon sarjana setiap tahunnya (http://pdpt.dikti.go.id/).
Ini berarti bahwa ada sekitar 750.000 makalah
yang akan dimuat per tahunnya. Jumlah ini apakah akan sesuai dengan jumlah
jurnal di Indonesia? Meskipun iya, makalah yang dibuat mahasiswa akan dimuat
oleh jurnal-jurnal ilmiah tersebut, akan tetapi apakah berarti jurnal-jurnal
itu hanya sekedar memuat makalah itu? Memuat makalah-makalah yang ‘kurang’
ilmiah. Hanya sekedar syarat agar mahasiswa tersebut bisa lulus? Sungguh permasalahan
yang pelik. Seharusnya, pemerintah pada
umumnya, serta Dikti pada khususnya, benar-benar mempersiapkan diri terlebih dahulu
apa saja yang dibutuhkan agar bisa menunjang kebijakannya tersebut. Dikti harus
melakukan perbaikan-perbaikan di jurnalnya terlebih dahulu. Baru setelah semua hal
yang menunjang itu telah siap, Dikti mengeluarkan kebijakan tersebut.
Bukan hanya masalah kesiapan jurnal
dalam memuat karya ilmiah yang dibuat calon sarjana saja yang menjadi polemik. Akan
tetapi tulisan yang ada di Surat Edaran itu juga yang menjadi pro-kontra. Dalam
SE tersebut, Dikti menuliskan bahwa “...Pada saat sekarang ini jumlah karya
ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingan
dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita
bersama untuk meningkatkannya.” Apakah etis hal semacam ini terdapat dalam
sebuah Surat Edaran? Menurut kami sangatlah tidak etis. Mengapa? Karena hal ini
justru menjadi sesuatu yang memalukan bagi Dikti sendiri. Mengapa kita harus
membandingkannya dengan negara tetangga kita, Malaysia? Mereka pantas saja
mempunyai keunggulan dalam menerbitkan makalah-makalah ilmiah. Karena
Pemerintah Malaysia sangat memperdulikan kebijakan semacam ini. Meskipun
sebenarnya, Malaysia tidak mewajibkan mahasiswanya untuk membuat makalah
ilmiah. Akan tetapi para dosenlah yang membuat makalah ilmiah tersebut dengan
mengambil data riset dari mahasiswanya.
Kita
sepatutnya memberikan apresiasi yang luar biasa kepada Pemerintah Malaysia. Hal
tersebut dikarenakan banyaknya makalah ilmiah yang dibuat oleh
perguruan-perguruan tinggi tidak
terlepas dari campur tangan pemeritah. Pemerintah Malaysia memberikan
tunjangan-tunjangan yang bertujuan untuk mendongkrak tingkat penerbitan makalah
internasional. Tunjangan-tunjangan itu seperti peningkatan anggaran pendidikan
tinggi, insentif untuk penelitian, perekrutan dosen-dosen asing, insentif untuk
penulisan di jurnal internsional, pemberian dana insentif yang besarnya
disesuaikan dengan nilai faktor jurnal tersebut[1].
Sehingga di Malaysia, tanpa kewajiban untuk membuat makalah ilmiah bagi
mahasiswa pun, mereka telah berhasil mendongkrak peningkatan makalah ilmiah mereka
karena tunjangan-tunjangan dari pemerintah tersebut.
Pada
dasarnya, kebijakan pembuatan makalah ilmiah bagi mahaiswa calon S1 memang baik
dan patut kita berikan apresiasi. Hal tersebut juga memiliki sisi manfaat yang cukup
besar. Terutama untuk peningkatan kualitas perguruan tinggi serta peningkatan
kualitas para lulusan sarjana. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kebijakan ini
harus benar-benar dimatangkan agar tidak hanya sekedar peraturan. Kebijakan
dari Dikti ini akan berhasil, jika semua elemen-elemen pendukung kebijakan ini
telah siap serta mampu mengantisipasinya.
Kami
sebagai mahasiswa S1, sangat mendukung kebijakan dari Direktorat Jenderal
Perguruan Tinggi tersebut. Akan tetapi, kami tidak setuju dengan waktu dari
pelaksanan kebijakan ini. Kami memberikan saran atau mungkin solusi kepada
pemerintah, agar kebijakan ini bisa berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa
yang diharapkan. Yaitu dengan cara menunda pelaksanaan kebijakan tersebut.
Adapun alasan mengapa perlu dilaksanakan pemunduran pelaksanaan adalah karena
belum adanya kesiapan dalam berbagai hal, terutama kesiapan jurnal-jurnal
ilmiah yang akan memuat makalah-makalah ilmiah dari para calon sarjana.
Jurnal-jurnal ilmiah perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Apabila
jurnal-jurnal tersebut telah siap dan telah mampu memuat makalah-makalah yang
dibuat oleh para calon sarjana, barulah Dikti kembali menyodorkan kebijakan ini
kepada perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Dikti dalam menyodorkan
kebijakan ini juga harus disertai dengan sesuatu yang mengikat, seperti dibuatnya
hukum-hukum dasar dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini bertujuan agar
kebijakan ini semakin jelas dalam pelaksanaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar