Jelajah Kuliner Unik Nusantara

Sabtu, 05 Mei 2012

Realistiskah Kebijakan Penerbitan Makalah di Jurnal Ilmiah oleh Calon Sarjana Program S1?



Surat Nomor 152/E/T/2012 yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti, membuat pro dan kontra dari berbagai pihak. Bagaimana tidak? Surat Edaran Direktorat Perguruan Tinggi tersebut berisi sebuah kebijakan yang membuat para civitas akademika mengerutkan dahi mereka. Surat yang dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 2012 itu merupakan sebuah surat kebijakan yang cukup tidak realistis. Dalam SE (Surat Edaran) tersebut, setiap mahasiswa yang akan lulus S1/S2/S3 harus membuat sebuah makalah ilmiah. Tidak hanya itu, apabila mahasiswa menginginkan gelar kelulusan, makalah ilmiah yang mereka buat harus dapat dimuat dalam sebuah Jurnal Ilmiah. Sungguh tidak realistis! Mengapa? Karena menurut kami, hal tersebut hanyalah sebuah kebijakan tanpa pemikiran. Kebijakan tanpa pemikiran disini maksudnya, memang kebijakan ini bagus dan merupakan suatu terobosan yang maju untuk keadaan perguruan tinggi saat ini. Akan tetapi, apakah mungkin kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan baik? Apalagi dalam SE itu disebutkan pula  bahwa peraturan tentang kewajiban mahasiswa membuat makalah ilmiah yang termuat di jurnal ilmiah efektif dimulai pada bulan Agustus tahun ini juga.
Padahal hingga Oktober 2009 saja, menurut Indonesian Scientific Journal Database, terdapat sekitar 2.100 journal yang berkategori ilmiah yang masih aktif. Dari jumlah itupun hanya sekitar 406 jurnal yang telah terakreditasi. Sedangkan data terbaru yang dikeluarkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI) pada tahun 2012 ini menyebutkan bahwa di Indonesia, jumlah jurnal ilmiah (cetak) hanya sekitar 7.000 buah. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih aktif menerbitkan jurnal ilmiah secara rutin, bahkan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapat akreditasi dari LIPI. Mari kita bandingkan dengan jumlah mahasiwa yang lulus per tahun sendiri. Di Indonesia terdapat 3.000 perguruan tinggi serta ada sekitar 750.000 calon sarjana setiap tahunnya (http://pdpt.dikti.go.id/).
 Ini berarti bahwa ada sekitar 750.000 makalah yang akan dimuat per tahunnya. Jumlah ini apakah akan sesuai dengan jumlah jurnal di Indonesia? Meskipun iya, makalah yang dibuat mahasiswa akan dimuat oleh jurnal-jurnal ilmiah tersebut, akan tetapi apakah berarti jurnal-jurnal itu hanya sekedar memuat makalah itu? Memuat makalah-makalah yang ‘kurang’ ilmiah. Hanya sekedar syarat agar mahasiswa tersebut bisa lulus? Sungguh permasalahan yang pelik. Seharusnya,  pemerintah pada umumnya, serta Dikti pada khususnya,  benar-benar mempersiapkan diri terlebih dahulu apa saja yang dibutuhkan agar bisa menunjang kebijakannya tersebut. Dikti harus melakukan perbaikan-perbaikan di jurnalnya terlebih dahulu. Baru setelah semua hal yang menunjang itu telah siap, Dikti mengeluarkan kebijakan tersebut.
            Bukan hanya masalah kesiapan jurnal dalam memuat karya ilmiah yang dibuat calon sarjana saja yang menjadi polemik. Akan tetapi tulisan yang ada di Surat Edaran itu juga yang menjadi pro-kontra. Dalam SE tersebut, Dikti menuliskan bahwa “...Pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya.” Apakah etis hal semacam ini terdapat dalam sebuah Surat Edaran? Menurut kami sangatlah tidak etis. Mengapa? Karena hal ini justru menjadi sesuatu yang memalukan bagi Dikti sendiri. Mengapa kita harus membandingkannya dengan negara tetangga kita, Malaysia? Mereka pantas saja mempunyai keunggulan dalam menerbitkan makalah-makalah ilmiah. Karena Pemerintah Malaysia sangat memperdulikan kebijakan semacam ini. Meskipun sebenarnya, Malaysia tidak mewajibkan mahasiswanya untuk membuat makalah ilmiah. Akan tetapi para dosenlah yang membuat makalah ilmiah tersebut dengan mengambil data riset dari mahasiswanya.
Kita sepatutnya memberikan apresiasi yang luar biasa kepada Pemerintah Malaysia. Hal tersebut dikarenakan banyaknya makalah ilmiah yang dibuat oleh perguruan-perguruan tinggi  tidak terlepas dari campur tangan pemeritah. Pemerintah Malaysia memberikan tunjangan-tunjangan yang bertujuan untuk mendongkrak tingkat penerbitan makalah internasional. Tunjangan-tunjangan itu seperti peningkatan anggaran pendidikan tinggi, insentif untuk penelitian, perekrutan dosen-dosen asing, insentif untuk penulisan di jurnal internsional, pemberian dana insentif yang besarnya disesuaikan dengan nilai faktor jurnal tersebut[1]. Sehingga di Malaysia, tanpa kewajiban untuk membuat makalah ilmiah bagi mahasiswa pun, mereka telah berhasil mendongkrak peningkatan makalah ilmiah mereka karena tunjangan-tunjangan dari pemerintah tersebut.
Pada dasarnya, kebijakan pembuatan makalah ilmiah bagi mahaiswa calon S1 memang baik dan patut kita berikan apresiasi. Hal tersebut juga memiliki sisi manfaat yang cukup besar. Terutama untuk peningkatan kualitas perguruan tinggi serta peningkatan kualitas para lulusan sarjana. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kebijakan ini harus benar-benar dimatangkan agar tidak hanya sekedar peraturan. Kebijakan dari Dikti ini akan berhasil, jika semua elemen-elemen pendukung kebijakan ini telah siap serta mampu mengantisipasinya.
Kami sebagai mahasiswa S1, sangat mendukung kebijakan dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi tersebut. Akan tetapi, kami tidak setuju dengan waktu dari pelaksanan kebijakan ini. Kami memberikan saran atau mungkin solusi kepada pemerintah, agar kebijakan ini bisa berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Yaitu dengan cara menunda pelaksanaan kebijakan tersebut. Adapun alasan mengapa perlu dilaksanakan pemunduran pelaksanaan adalah karena belum adanya kesiapan dalam berbagai hal, terutama kesiapan jurnal-jurnal ilmiah yang akan memuat makalah-makalah ilmiah dari para calon sarjana. Jurnal-jurnal ilmiah perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Apabila jurnal-jurnal tersebut telah siap dan telah mampu memuat makalah-makalah yang dibuat oleh para calon sarjana, barulah Dikti kembali menyodorkan kebijakan ini kepada perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Dikti dalam menyodorkan kebijakan ini juga harus disertai dengan sesuatu yang mengikat, seperti dibuatnya hukum-hukum dasar dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini bertujuan agar kebijakan ini semakin jelas dalam pelaksanaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar