Jelajah Kuliner Unik Nusantara

Sabtu, 01 Februari 2014

Nikmatnya Sate Lilit Bali yang Melilit Hati


Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata “Bali”? Ya, hampir semua masyarakat kita mengenal tempat itu. Pulau Bali yang disebut sebagai Pulau Seribu Dewa ini memang memiliki pesona yang tiada tandingannya. Masyarakat Bali yang begitu kental dengan budayanya, tidak terpengaruh begitu saja dengan budaya luar meskipun jutawan wisatawan asing mengunjungi tempat mereka. Pulau Bali yang sudah kondang seantero dunia sebagai tempat wisata yang indah ini memang memiliki potensi budaya yang sangat beragam dan kental di dalam masyarakatnya, tak terkecuali dalam hal kuliner.
Kuliner Bali terkenal sebagai kudapan yang lezat dan unik. Masakan Bali kaya akan bumbu-bumbu rempah dan bahan-bahan alami yang diambil dari lingkungan Bali. Dari semua kuliner Bali itu, Sate Lilit salah satu jagoannya. Selain Bebek Betutu, Sate Lilit juga menjadi ikon kuliner dari pulau yang tenar dengan upacara Ngaben-nya ini. Saya pribadi, sudah mengenal kuliner ini cukup lama, tetapi hanya melalui acara wisata kuliner dan traveling di layar televisi saja. Sekilas saya lihat, kuliner itu memang sangat unik dan terlihat sangat nikmat. Membuat saya sangat penasaran untuk mencicipinya.
Akhirnya pada bulan Mei tahun lalu, saya bisa juga menikmati lezatnya Sate Lilit Bali yang melilit hati ini, langsung di bumi dewata. Dalam sebuah acara pertemuan mahasiswa yang diadakan di sebuah perguruan tinggi di Denpasar, kami dijamu dengan sangat manja melalui Sate Lilit-nya. Di setiap box makanan kami selalu dilengkapi dengan kuliner yang terbuat dari ikan Tenggiri ini. Kami pun selalu antusias untuk melahap dan menghabiskannya. Sungguh sangat nikmat sekali, meskipun di setiap box itu kami hanya disajikan satu tusuk Sate Lilit saja. Akan tetapi itu sangat cukup bagi kami, terutama saya dalam menikmati Sate Lilit ini. Apalagi ketika memakannya dalam suasana kebersamaan, Sate Lilit semakin melilitkan persaudaraan di antara peserta lainnya.
Meskipun selama hampir tiga hari acara dan selama tiga hari pula kami menikmati Sate Lilit di setiap waktu makan kami, namun sepertinya lidah yang masih lapar akan gurihnya ikan Tenggiri ini masih saja mengharapkan untuk kembali memakannya. Dan pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya dan teman-teman sekampus serta teman-teman dari sebuah universitas di Bandung yang sengaja menambah masa dua hari untuk lebih lama di Bali, mendapatkan kesempatan untuk mencicipi lagi Sate Lilit. Tentunya ini dalam porsi yang lebih banyak.
Ketika satu hari sebelum kepulangan kami, kami bertujuh memuaskan hasrat wisata kami dengan mengunjungi Tanah Lot, Kuta, dan Tabanan. Di Tabanan itulah kami diajak oleh teman kami yang merupakan orang Bali asli yang sekaligus merupakan panitia acara tersebut. Di rumahnya kami mengobrol disertai canda tawa, seakan kita merupakan satu keluarga. Di situ saya merasakan sebuah kebersamaan yang sangat mengesankan. Indonesia memang dikenal oleh masyarakat dunia sebagai negara yang sangat ramah, sehingga membuat siapa saja betah untuk berlama-lama di Indonesia.  
Kami pun terus mengobrol, sambil menunggu datangnya si adonan ikan Tenggiri yang dibentuk seperti sate itu. Hingga akhirnya apa yang kami tunggu datang juga. Sate Lilit yang membuat hati ini  terpikat selama berada di Denpasar. Sungguh sangat nikmat apalagi dimakan bersama dengan nasi putih hangat plus kebersamaan. Benar-benar Joss Gandoss. Selain makan dengan Sate Lilit, kami juga disuguhkan makanan khas Bali lainnya seperti ayam suwir, ayam kecap, plus sambel Bali. Sangat mengesankan!
Selain ikan Tenggiri, biasanya masyarakat Bali juga memanfaatkan ikan Tuna atau jenis-jenis ikan laut lainnya sebagai bahan adonan Sate Lilit. Namun, yang sering dijadikan sebagai bahan adonan itu adalah ikan Tenggiri, karena memiliki rasa yang enak dan khas. Masyarakat Bali juga biasanya menggunakan bahan baku babi di dalam kecap yang digunakan untuk mengolah Sate Lilit. Tapi itu bisa digantikan oleh kecap biasa, jadi jangan khawatir untuk turut merasakan lezatnya Sate Lilit ini. 
Itulah saat terakhirku merasakan nikmatnya Sate Lilit khas Bali langsung di tanah Dewata. Rasanya sungguh membuat lidah ini selalu kangen ingin merasakannya lagi. Apalagi ditambah dengan kebersamaan menjadikan rasa kangen itu semakin bertambah. Ingin sekali merasakan kembali kenikmatan dan kebersamaan itu. Bali memang tiada duanya. Sebuah pulau yang indah non eksotik, bertabur kebudayaan yang sangat elegan, dengan kuliner yang sangat mengesankan terutama Sate Lilit-nya yang melilit hati.





Selasa, 19 Februari 2013

"Outlet Nusantara" Melestarikan Budaya dengan Produk Inovatif dan Kreatif


Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan kekayaan budaya yang luar biasa. Baik itu kebudayaan yang berupa fisik maupun berupa nonfisik. Salah satu kekayaan itu adalah kekayaan dalam hal bahasa daerah. Dunia pun mengakui bahwa Indonesia merupakan sebuah negara dengan kekayaan bahasa ibu atau bahasa daerah yang luar biasa banyaknya. Hal ini dapat dilihat data yang dilansir UNESCO pada tahun 2008, dimana Indonesia menempati urutan kedua sebagai laboratorium bahasa terbesar kedua di dunia setelah Papua Nugini[1].
Hampir semua daerah di Indonesia memiliki bahasa daerah, atau bisa juga dikatakan sebagai bahasa ibu di daerah tersebut. Di Indonesia berdasarkan data yang dilansir oleh UNESCO, bahwa terdapat 726 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah penuturnya pun bervariasi, mulai dari yang berjumlah 100 orang (berada di Papua) sampai yang lebih dari 60 juta (penutur bahasa Jawa)[2]. Data lain yang dikeluarkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa) pada tahun 1980 menyebutkan bahwa terdapat sekitar 480 bahasa daerah di seluruh wilayah Nusantara.
Akan tetapi sebagian besar dari bahasa daerah tersebut telah punah. Dalam pidato pengukuhan guru besar di Universitas Negeri Jakarta dengan judul “Kepunahan Bahasa Daerah karena Kehadiran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta Upaya Penyelamatannya”, 22 Mei 2007, Arief Rachman memetakan kepunahan bahasa daerah di Indonesia sebagai berikut. Lebih dari 50 bahasa daerah di Kalimantan, satu di antaranya terancam punah. Di Sumatera, dari 13 bahasa daerah yang ada, dua di antaranya terancam punah dan satu lainnya sudah punah. Namun, di Jawa tidak ada bahasa daerah yang terancam punah. Adapun di Sulawesi dari 110 bahasa yang ada, 36 bahasa terancam punah dan 1 sudah punah, di Maluku dari 80 bahasa yang ada 22 terancam punah dan 11 sudah punah, di daerah Timor, Flores, Bima dan Sumba dari 50 bahasa yang ada, 8 bahasa terancam punah. Di daerah Papua dan Halmahera dari 271 bahasa, 56 bahasa terancam punah. Dikatakan lebih lanjut bahwa data yang diberikan oleh Frans Rumbrawer dari Universitas Cendrawasih pada tahun 2006 lebih mengejutkan lagi, yaitu pada kasus tanah Papua, 9 bahasa dinyatakan telah punah, 32 bahasa segera punah, dan 208 bahasa terancam punah (Berita Depkominfo, 22 Mei 2007). Kepunahan bahasa daerah ini disebabkan karena semakin sedikitnya bahkan tidak adanya penutur asli bahasa daerah tersebut. Hal ini disebabkan keengganan penutur tersebut untuk mempelajari atau bahkan menggunakan bahasa daerah tersebut. Padahal bahasa daerah ini bisa menjadi ciri identitas seseorang. Dengan bahasa daerah ini, seseorang bisa diketahui asalnya. Akan tetapi, berkurangnya kepedulian generasi sekarang terhadap bahasa daerah mereka masing-masing, menyebabkan kekayaan bangsa tersebut tak dapat dirasakan lagi.
Banyak hal yang dilakukan untuk mengantisipasi kepunahan tersebut. Salah satunya dengan memadukannya dengan sebuah produk-produk modern, seperti kaos, gantungan kunci, goody bag, bahkan Mug. Untuk sekarang ini, produk-produk tersebut hanya mengangkat sesuatu yang kebarat-baratan sebagai hiasannya. Mulai dari gambar para tokoh idola sampai istilah-istilah berbau budaya barat. Meskipun ada yang mengangkat sesuatu yang berbau nasionalisme, itu masih sangat sedikit. Oleh sebab itu, akan luar biasa dan memiliki nilai guna serta nilai jual apabila bahasa daerah ini bisa dibuat sebagai sebuah hiasan dan tema dalam produk-produk tersebut. Ini juga bisa menjadi trend  baru yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mengidentifikasikan dirinya dengan produk-produk tersebut. Bahkan hal ini juga bisa menjadi sarana promosi budaya dan pariwisata dari daerah mereka masing-masing. Selain itu juga dengan adanya produk-produk ini, masyarakat Indonesia mampu mengenal dan ikut melestarikan bahasa daerah mereka masing-masing. Sehingga produk kreatif ini menjadi solutif untuk menjaga kelestarian bahasa daerah di Indonesia.

Anda tertarik untuk memiliki produk inovatif dan kreatif dengan desain bahasa daerah anda masing-masing? Kaos, Mug, Goody Bag, Gantungan Kunci, Pin, akan lebih terlihat eksotis, etnik dan berbudaya. Lihat dan pesan segera.. :)
http://www.facebook.com/pages/Outlet-Nusantara/420827224665573?ref=ts&fref=ts

referensi

Kamis, 26 Juli 2012

Menilik Keberadaan Musik Gamelan Angklung di Desa Tanjung Benoa



Indonesia memang kaya akan budaya. Tak ada negara yang meragukan akan hal itu. Salah satu di antara kekayaan itu adalah kekayaan khasanah musik kita. Indonesia memiliki beragam jenis musik tradisional yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap daerah itu memiliki keunikan tersendiri, baik itu dari segi alat musiknya, iramanya, fungsinya, dan sebagainya. Salah satu musik yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia dari dulu sampai sekarang adalah Musik Gamelan. Gamelan merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Gamelan ini memiliki sistem nada non-diatonis (titinada [laras] slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan penggarapan dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar (Purwadi & Widayat, 2006).
Mungkin masyarakat awan hanya mengenal Gamelan Jawa. Padahal, Gamelan juga terdapat di daerah Sunda dan Bali. Sama halnya di Jawa dan Sunda, dimana Gamelan ini tetap ada, di di Pulau Dewata pun, musik Gamelan tetap eksis dan lestari sampai sekarang. Bahkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara yang datang ke pulau seribu dewa ini. Berbeda dengan Gamelan Jawa yang cenderung lembut dan halus, serta Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling, Gamelan Bali cenderung lebih rancak dan dinamis.
Gamelan Bali atau Gambelan Bali, atau juga dikenal dengan Karawitan Bali, dibedakan menjadi tiga jenis, berdasarkan zamannya. Ketiga jenis itu antara lain Gamelan Wayah, Gamelan Madya dan Gamelan Anyar. Gamelan Wayah atau Gamelan Tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominasi oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang. Kalaupun mempergunakan kendang, dapat dipastikan tidak memiliki peranan yang menonjol. Gamelan Wayah ini terbagi atas Angklung, Balaganjur, Bebonangan, Caruk dan Gambang. Gamelan Madya dan Gamelan Anyar.
Gamelan Madya berasal dari sekitar abad XVI-XIX. Gamelan ini sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam Gamelan jenis ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting. Yang termasuk dalam Gamelan Madya adalah Batel Barong, Bebarongan, Gamelan Joged Pingitan, Gamelan Penggambuhan, Gong Gede, Pelegongan, Semar Pagulingan. Sedangkan Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Permainan kendang yang sangat menonjol menjadi ciri khas dari jenis Gamelan Anyar ini. Gamelan Anyar memiliki beberapa jenis, antara lain Gamelan Manikasanti, Gamelan Semaradana, Gamelan Bumbang, Gamelan Geguntangan, Gamelan Genta Pinara Pitu, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Janger dan Gamelan Joged Bumbung.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menjelajah Desa Tanjung Benoa yang berada di sebelah selatan Nusa Dua, tepatnya di Desa Adat  Pekraman Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, yang tak hanya dikenal karena pantainya, juga terkenal akan musik Gamelan Angklungnya. Gamelan Angklung adalah jenis gamelan tua yang terdapat di Bali. Gamelan Angklung ini sempat sangat populer pada zaman dulu di hampir wilayah Bali. Jenis Gamelan ini memiliki fungsi utama sebagai pengiring upacara adat di Bali. Gamelan Angklung dipakai sebagai pengiring upacara Pitra Yadnya (Ngaben), sebuah upacara kematian untuk umat Hindu di Bali. Adapun Di sekitar kota Denpasar dan beberapa tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi dengan Gamelan Angklung, yang menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang dipakai untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya (odalan) serta upacara-upacara keagamaan yang lainnya. Gamelan Angklung tersebut disebut juga sebagai Angklung Klasik. Sedangkan saat ini, Gamelan Angklung mengalami perkembangan dari segi penggunaannya. Selain Angklung Klasik untuk upacara Ngaben, juga terdapat Angklung Kebyar, yang berfungsi sebagai musik pengiring tari-tarian dan juga pagelaran drama di Bali. Meskipun begitu, dibandingkan dengan jenis musik gamelan yang lain, Gamelan Angklung dianggap sebagai musik gamelan yang sakral, karena masih digunakan sebagai pengiring upacara adat sampai saat ini.
  Gamelan Angklung memiliki laras Slendro yang dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah angklung bambu kocok (yang berukuran kecil). Di wilayah Bali, penggunaan nada dalam Gamelan Angklung memiliki sedikit perbedaan. Di Bali Selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada. Pada festival-festival Pura, keriangan melodi 4-nada gamelan angklung dimainkan dengan alunan kontras dan sakral dengan komposisi lelambatan yang seringkali terdengar dimainkan terus menerus.
Dalam Gamelan Angklung, terdapat nama-nama untuk setiap tabuhannya, seperti tabuh Asep Menyan, Capung Manjus, Capung Ngumbang, Dongkang Menek Biu, Guwak Maling Taluh, Sekar Jepun, Berong, Sekar Ulat, Glagah Katununan, Jaran Sirig, Kupu-kupu Tarum, Meong Magarong, Pipis Samas, Sekar Sandat, Cecek Magelut. Selain itu juga, Barungan Gamelan Angklung klentangan terdiri dari 3 pasang : Pemade, Tiga pasang kantil, Empat tungguh reong, Sepasang jegogan, Sebuah tungguh kempul, Sebuah kelenang, Sebuah tawa-tawa, Sebuah suling atau lebih, Sepangkon ricik, Sepancar genta orag dan sepasang kendang lanang,wadon berukuran kecil. Beberapa instrumen juga terkadang ditambahkan seperti jublag, kendang gupekan, kempur,kemong,dan gong.  Secara umum tungguhan gamelan angklung pada waktu lampau masih berbentuk lelengisan, dan hanya dipernis, tetapi dewasa ini kita lihat sudah diprada sebagaimana Gong Kebyar. Secara  fisik pada awalnya angklung menggunakan empat bilah nada, kemudian para senimannya pada perkembangannya menambahkan lagi beberapa bilah untuk mendukung kebutuhan komposisi lagu. Perubahan atas bertambahnya bilah nada dalam gamelan angklung adalah tidak terlepas dari factor terkena imbas dari pengaruh gender wayang dan dan factor kedua adalah karena ada difungsikan untuk mengiringi Joged Bumbung (Sudirga,Komang, 2004, 2).
Desa Adat Tanjung Benoa adalah salah satu wilayah di Bali yang sangat aktif melestarikan Gamelan Angklung ini. Hal ini dapat dilihat dari adanya sebuah organisasi tradisional yang memiliki tujuan sosial. Organisasi itu dikenal dengan nama Seeke Angklung Segara Putra. Sekee ini berada di lingkungan Desa Pekraman Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kabupaten Badung.  Organisasi ini membantu secara sukarela kepada masyarakat yang membutuhkan iringan musik Gamelan Angklung untuk mengiringi upacara. Mereka secara sukarela membantu tanpa meminta pamrih. Sebenarnya, apabila ada yang ingin menyewa Gamelan Angklung, mereka harus membayar uang sewa. Tetapi melalui organisasi ini, mereka tidak membayar sama sekali untuk menyewa Gamelan Angklung ini.
Belakangan ini, Gamelan Angklung mengalami berbagai  perubahan. Tidak hanya berupa bentuk fisik instrumentasinya, tetapi juga terjadi perkembangan repertoar dan fungsi, di dalam konteks kehidupan sosial masyarakat di Bali. Hingga sampai saat, Gamelan Angklung telah diangkat untuk ajang sebuah kreativitas, yang dapat tampil sebagai Angklung Kebyar dan angklung dengan kreativitas seni modern.
Itulah Gamelan Angklung, yang eksistensi masih terjaga sampai saat ini, terutama di Desa Tanjung Benoa. Keeksistensiannya tak lepas dari perubahan-perubahan yang terjadi pada Gamelan Angklung ini. Tak hanya sebagai sebuah alat untuk mengiringi upacara keagamaan, yang mengiringi jenasah menuju alam baka, tetapi juga telah mengalami perubahan sebagai sarana pengiring tari-tarian dan pagelaran drama, yang kehadirannya menambah nilai keindahan tersendiri di setiap pementasannya. Tentu saja ini merupakan sebuah inovasi yang dilakukan oleh seniman-seniman Bali, untuk tetap menjaga dan melestarikan Gamelan Angklung, yang secara historis mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi mengingat jenis gamelan Bali ini merupakan yang tertua dibandingkan dengan jenis-jenis gamelan Bali yang lain. Kegemaran masyarakat untuk memainkan Gamelan Angklung sampai saat ini, merupakan nilai tersendiri yang menjadi nilai tambah bagi keberhasilan para seniman Bali ini.
Semoga apa yang telah dilakukan oleh para seniman di Desa Tanjung Benoa dalam melestarikan Gamelan Angklung ini dapat ditiru dan menjadi teladan bagi seniman-seniman dari daerah lain, agar warisan luhur bangsa ini dapat tetap lestari dan digemari oleh masyarakat sejalan dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis ini.


Irwan Suswandi
Sastra Daerah untuk Sastra Jawa 2011
Peserta UI – Student Development Program 2012

Sabtu, 16 Juni 2012

Rebo Wekasan, Ekonomi Kerakyatan Berbalut Budaya di Kabupaten Tegal


Tegal, tak hanya dikenal karena dialek bahasa Jawa, pantai dan kulinernya, tetapi kota dengan julukan Tegal Laka-Laka ini juga dikenal karena budayanya yang unik. Salah satunya yaitu tradisi budaya yang berkaitan dengan penyebaran agama Islam di Tegal. Masyarakat Tegal menyebut tradisi itu dengan “Rebo Wekasan”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Rebo Wekasan” ini? Bagaimana sejarah dari “Rebo Wekasan” itu? Serta apa yang unik dari tradisi ini?
            Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah hari Rabu di minggu terakhir di bulan Safar (dalam bahasa Jawa: Sapar). Masyarakat Jawa percaya bahwa bencana dan mala petaka banyak terjadi pada hari itu. Sehingga mereka perlu melakukan upaya pencegahan agar bencana dan mala petaka ini tidak terjadi pada mereka. Maka pada hari itu masyarakat banyak yang melaksanakan shalat Rebo Wekasan, mandi di sungai, mengunjungi sanak saudara, bahkan membuat serangkaian acara selama seharian yang kemudian ditutup dengan pertunjukkan wayang, dan lain sebagainya.
Setiap daerah memiliki cara dan keunikan masing-masing dalam pada saat Rebo Wekasan ini. Tak terkecuali di Tegal, acara ini pun menjadi sebuah tradisi yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini. Masyarakat Tegal banyak yang mempercayai kalau pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar ini, akan banyak bencana dan mala petaka. Sehingga banyak dari mereka,  baik itu anak-anak sampai orang dewasa melakukan berbagai upaya untuk terhindar dari bencana dan mala petaka tersebut. Tradisi yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Tegal dalam menghadapi Rebo Wekasan, yaitu tradisi mencukur beberapa helai rambut dan tradisi membuat bubur merah dan putih, yang kemudian dibagikan ke tetangga mereka. Tak ada bukti tertulis mengenai tradisi ini. Kapan tradisi mulai dilaksanakan dan siapa yang memulainya belum ada yang mengetahui. Akan tetapi, tradisi ini seakan sudah menjalar dalam masyarakat dan seakan jika tidak dilaksanakan, bencana dan mala petaka akan datang menimpa mereka.
            Selain tradisi mencukur rambut dan juga membuat bubur, ada juga tradisi unik lain yang dilaksanakan di Tegal selama Rebo Wekasan. Tradisi itu dilaksanakan di dua kecamatan di Tegal, yaitu di Suradadi dan Lebaksiu. Meskipun pada dasarnya sama, yaitu untuk memperingati Rebo Wekasan, tetapi kegiatan yang dilaksanakan berbeda.
            Desa Suradadi, kecamatan Suradadi, kabupaten Tegal, terletak di jalur antara Tegal dan Pemalang, sekitar 17 kilometer timur kota Tegal. Di desa ini, tradisi dalam memperingati Rebo Wekasan dilaksanakan cukup unik. Masyarakat Suradadi pada khususnya, melaksanakan Haul pada saat Rebo Wekasan. Haul diadakan sebagai suatu momentum untuk mengenang kembali para ulama yang telah berjasa dalam menyebarkan agam Islam di daerah tersebut. Banyak pula yang mengatakan terutama di kalangan ulama, budaya Rebo Wekasan di desa Suradadi yang dilaksanakan dalam bentuk Haul adalah sebuah upaya dari para ulama setempat untuk menjadikan Rebo Wekasan lebih bermakna dan memiliki nilai yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Para ulama di desa Suradadi sangat prihatin dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam momentum Rebo Wekasan ini. Masyarakat banyak yang menyimpang dari agama berkenaan dengan peringatan Rebo Wekasan. Sehingga para ulama ber-ijtihad untuk mengubah itu, yaitu dengan diadakannya Haul.
            Haul di desa Suradadi dalam rangka Rebo Wekasan, telah dilaksanakan sejak tahun 1961, tepatnya pada tanggal 13 Agustus (27 Safar 1381 H). Biasanya dilaksanakan di pemakaman umum desa, tepatnya di sebelah selatan Masjid Jami Al-Kautsar atau sebelah selatan Pasar Suradadi. Pada saat Haul, masyarakat Suradadi dan sekitarnya akan berkumpul di pemakaman tersebut dan membacakan doa-doa untuk para ulama yang telah meninggal dunia yang tentunya ulama-ulama itu adalah tokoh-tokoh yang telah berjasa dalam penyebaran agama Islam. Setiap tahun, scara Haul tersebut selalu dipenuhi para pengunjung yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 20.000 pengunjung. Adapun yang mengikuti acara tersebut tidak hanya masyakarat Suradadi, tetapi juga oleh masyarakat kabupaten dan kota Tegal yang lain, bahkan banyak pula pengunjung yang berasal dari Pemalang, Brebes, Pekalongan, Batang, Purbalingga, dan Purwokerto. Sehingga tak heran, pada saat pelaksanaanya, jalur Pantura tepatnya di jalan Pasar Suradadi, jalan akan sangat macet, yang disebabkan membludaknya pengunjung yang mengikuti Haul tersebut. Sehingga tidak bisa dipungikiri bahwa tradisi Haul tersebut merupakan media efektif untuk persatuan umat, dakwah Islam, dan tentunya memobilisasi perekonamian umat di Suradadi.
            Selain Haul, hal yang unik dalam peringatan Rebo Wekasan di Suradadi adalah adanya pasar dadakan yang ada sebelum, selama dan setelah Rebo Wekasan. Biasanya pasar ini ada setengah atau satu bulan sebelum hari H. Karena adanya pasar ini juga, keadaan di desa Suradadi menjadi sangat ramai yang disebabkan oleh banyaknya para pedagang serta para pengunjung yang mendatangi pasar dadakan tersebut. Sehingga pasar tersebut seakan menjadi arena bazar gratis bagi masyarakat. Barang yang dijual dalam pasar tersebut berupa segala jenis makanan, mainan anak-anak, pakaian, sepatu, tas, serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Sehingga pasar ini seakan tidak bedanya dari  pasar malam yang mengundang keramaian. Pedagang pun datang dari berbagai kota. Karena terdapat sebuah kepercayaan bahwa setelah berdagang pada acara Rebo Wekasan, dagangan mereka akan bertambah laris pada hari berikutnya. Ini menjadi sebuah tradisi budaya yang selalu ditunggu oleh masyarakat Suradadi, karena dapat dilihat dari betapa eksisnya tradisi ini hingga saat ini.
            Berbeda di Suradadi, berbeda pula peringatan Rebo Wekasan di Lebaksiu. Lebaksiu adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Tegal, yang terletak di jalur Tegal-Guci. Konon, berdasarkan cerita yang telah menyebar di masyarakat Lebaksiu bahwa peringatan Rebo Wekasan ini adalah untuk mengenang jejak Mbah Panggung, tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut. Akan tetapi, tidak ada sumber yang menyebutkan dengan jelas tentang sejarah dari peringatan Rebo Wekasan di Lebaksiu. Sehingga cerita Mbah Panggun-lah yang dianggap paling benar.  Makam Mbah Panggung berada di puncak Bukit Sitanjung, dimana bukit ini terletak diantara dataran-dataran tinggi yang ada di Lebaksiu. Oleh karena itu, pusat acara Rebo Wekasan di Lebaksiu berada disekitar bukit tersebut, bahkan mencapai pinggir-pinggir jalan raya.
            Jika di Suradadi Rebo Wekasan ini lebih dominan dengan acara agama dalam hal ini Haul, Rebo Wekasan di Lebaksiu didominasi dengan kegiatan jual-beli para pedagang yang hanya ada selama Rebo Wekasan. Biasanya para pedagang ini sudah membuka lapaknya setengah bulan sebelum hari H, sampai seminggu setelah hari H. Lapak yang ada pun bisa mencapai kiloan meter dari Bukit Sitanjung. Mulai dari makanan, baju, sepatu, tas, mainan anak-anak, aksesoris, lengkap ada di situ. Tidak hanya pedagangnya yang jumlahnya tak terhitung, pengunjung yang datang pun jumlahnya membludak. Ribuan orang datang hanya sekedar untuk berkeliling untuk melihat-lihat dagangan, atau jalan-jalan menaiki bukit untuk menikmati pemandangan Bukit Sitanjung. Meskipun ada juga yang sengaja datang untuk berziarah ke makam Mbah Panggung.
            Di masyarakat Lebaksiu, ada sebuah mitos tentang Rebo Wekasan. Setiap tahun, tepatnya ketika Rebo Wekasan, pasti akan ada pengunjung yang meninggal, karena dijadikan tumbal. Terlepas benar apa tidak, tetapi memang ketika Rebo Wekasan, ada saja pengunjung yang meninggal. Ada yang hanyut di sungai, ada yang terjatuh, ada yang hilang, dan lain-lain.
            Meskipun begitu, Rebo Wekasan tetap menjadi sebuah event yang ditunggu oleh masyarakat Lebaksiu. Daya tarik utama dari peringatan Rebo Wekasan ini adalah para pedagang yang datang dari berbagai kota yang membuka lapaknya di sekitar Bukit Sitanjung. Sehingga dapat dilihat, betapa cepatnya mobilasasi ekonomi masyarakat Lebaksiu pada saat peringatan Rebo Wekasan.
            Itu adalah salah satu tradisi yang ada di kabupaten Tegal yang berkenaan dengan Rebo Wekasan. Melihat antusiasme para pengunjung, masyarakat Tegal seakan selalu menanti event ini. Bagaimana? Apakah Anda merasa penasaran? Silahkan datang ke Tegal setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar. Dan Anda akan merasakan betapa uniknya tradisi ini.

Irwan Suswandi
Jawa 2011
Peserta UI – Student Development Program 2012



Bahasa Jawa Ngapak


Bahasa Jawa Ngapak
A         : “Aja kaya kuwelah.. Kowen ora ngerti apa, atine nyong lara nemen.”
B         : “ Iya, iya... Enyong ora bakal ngomong kaya kuwe maning.”
Jika mendengar percakapan seperti di atas, apa yang ada dibenak kita? Ya, kita akan langsung mengerti bahwa orang yang bercakap tersebut menggunakan bahasa Ngapak atau bahasa Jawa Ngapak. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan bahasa Ngapak? Dan bagaimana sejarahnya, sehingga bahasa Jawa ini disebut sebagai bahasa Jawa Ngapak?
“Bahasa Jawa mempunyai 4 dialek dan 13 subdialek. Dialek-dialek itu adalah: Banyumas, Pesisir Utara, Surakarta dan Jawa Timur. Adapun subdialek-subdialek itu meliputi : Purwokerto, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal, Semarang, Rembang, Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Surabaya dan Banyuwangi.” (Uhlenbeck, 1972:75)
Bahasa Jawa mempunyai beberapa dialek seperti yang telah disebutkan dalam penelitin Uhlenbeck di atas, yang bisa dibedakan dari ciri-ciri tertentu. Sepintas perbedaan itu dapat dilihat dari ucapan dan kosakatanya. Namun, dua hal itu belum mewakili ciri perbedaan secara keseluruhan sebelum dikaitkan dengan pembicaraan struktur dialeknya. Salah satu dialek bahasa Jawa yang terkenal adalah dialek bahasa Jawa Banyumasan. Dialek ini dikenal juga dengan bahasa Ngapak. Bahasa Ngapak adalah salah satu dialek bahasa Jawa yang banyak digunakan di daerah Cilacap, Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga, Purwokerto, Bumiayu, Slawi, Pemalang, Tegal, Brebes, dan sekitarnya. Bahasa ini memiliki keunikan dan kekhasan dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa yang lain. Keunikan dan kekhasannya terletak pada logat bahasanya. Hal ini dikarenakan dialek bahasa Jawa ini masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Dialek bahasa Ngapak ini secara umum dianggap bahasa kasar serta dipertautkan dengan kelas ’’rendah’’, bahasa kaum proletar.
Adapun tahap perkembangan dari dialek Banyumasan adalah sebagai berikut.
- Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
- Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
- Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
- Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.
Kata ‘ngapak’ sebenarnya tidak memiliki arti yang jelas. Diperkirakan istilah ‘ngapak’ berasal dari Banyumas, yaitu ‘ora ngapa-ngapa’ (tidak apa-apa). Masyarakat Banyumas, serta masyarakat Pesisir Utara Jawa, jika mengucapkan sebuah kata yang terbuka, akan terdengar bunyi glotal (?). Sehingga, orang Banyumas jika mengatakan ‘ora ngapa-ngapa’ menjadi ‘ora ngapak-ngapak’. Karena itulah banyak orang yang menyebut bahasa Banyumasan ini sebagai bahasa Ngapak. Karena alasan itu juga, masyarakat Tegal yang juga dikenal oleh masyarakat luas sebagai pengguna bahasa Ngapak, tidak mau disebut sebagai bahasa Ngapak. Hal ini dikarenakan, dalam bahasa Tegal, tidak ada kosakata ‘ora gapa-ngapa’ untuk menyebutkan ‘tidak apa-apa’. Melainkan orang Tegal untuk mengatakan ‘tidak apa-apa’ dengan ‘ora papa’ atau ‘ora apa-apa’. Akan tetapi, banyak orang yang tidak mengerti dengan alasan ini, sehingga orang mengkategorikan bahasa Tegal juga sebagai bahasa Jawa Ngapak.
            Akan tetapi, para pengguna bahasa Ngapak ini merasa minder jika mereka berbicara dalam bahasa Ngapak. Karena jika mereka berbicara dengan bahasa Ngapak dan didengar oleh orang lain, mereka akan ditertawakan. Entah apa yang ditertawakan, tetapi banyak dari pengguna dari bahasa Ngapak merasa minder dengan tertawaan itu. Sehingga mereka lebih suka berbahasa Jawa standar bahkan berbahasa Indonesia. Jika hal ini terus terjadi, maka keberadaan bahasa Ngapak ini sangat rentan dengan kepunahan, karena berkurangnya para pengguna dari bahasa ini. Seharusnya, masyarakat luas jangan terlalu melihat sebelah mata kepada para pengguna bahasa Ngapak. Karena keberadaan bahasa ini merupakan salah satu kekayaan dari bangsa yang sepatutnya kita jaga dan lestarikan.





Irwan Suswandi
Jawa 2011
Peserta UI – Student Development Program 2012

Kamis, 31 Mei 2012

REOG PONOROGO




       Indonesia terkenal akan kebudayaannya yang beraneka ragam. Keberagamannya dapat terlihat di setiap sudut wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tapi sayangnya, kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia tak diimbagi dengan rasa peduli dari masyarakat Indonesia. Sehingga tak heran, banyak pihak asing yang mengklaim budaya kita. Tapi,haruskah kita marah? Atau justru seharusnya kita berterima kasih kepada pihak tersebut karena telah peduli, dan membantu memelihara serta melestarikan budaya kita? 
      Salah satu budaya yang sempat menjadi perbincangan karena adanya pengklaiman bangsa asing adalah Reog Ponorogo. Reog sempat diklaim oleh bangsa Malaysia sebagai kebudayaan yang berasal dari Negeri Jiran tersebut. Malaysia menyebut Tari Reog dengan sebutan Tari Barongan. Tetapi, benarkah Reog berasal dari Malaysia? Atau Malaysia hanya menggertak kita agar kita tidak lupa untuk menjaga kebudayaan yang kita miliki? Untuk menjawab pertanyaan itu, alangkah baiknya kita mengenal lebih dahulu tentang Reog.
     Reog adalah salah satu kebudayaan yang berasal dari Jawa Timur, tepatnya di wilayah barat laut. Reog yang paling terkenal yaitu reog dari Ponorogo, sehingga terkenal dengan sebutan Reog Ponorogo. Di Ponorogo, Reog dipertunjukkan pertama kali pada tahun 1920. Dalam setiap pertunjukkannya, tidak hanya Reog, tetapi juga ada Tari Jaran Kepang dan Bujangganong.
      Banyak versi tentang asal-usul dari Reog Ponorogo. Setidaknya ada lima versi yang paling populer di masyarakat Ponorogo. Tetapi yang banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia secara luas adalah versi yang bercerita tentang Kerajaan Kediri. Dahulu, ada seorang Putri Kerajaan Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit. Setelah desakan dari kedua orang tuanya untuk segera menikah, Dewi Sanggalangit menerima permintaan dari orang tuanya itu dengan memberikan persyaratan kepada para calon suaminya, yang dia peroleh dari semedinya. Persyaratannya adalah siapa saja yang ingin menjadi suaminya, harus mampu menampilkan tontonan yang menarik, dengan membawa seratus empat puluh kuda kembar dan juga binatang berkepala dua. 
      Setelah melakukan sayembara, hanya ada dua calon yang berani memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit, yaitu Raja Kelanaswandana dan Raja Singabarong. Raja Kelanaswandana adalah raja yang gagah dan tampan serta bijaksana yang berasal dari Kerajaan Bandarangin. Tetapi Raja Kelanaswandana memiliki kebiasaan buruk yaitu suka mencumbui anak laki-laki tampan yang dianggapnya sebagai gadis remaja yang cantik. Sedangkan Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya adalah raja yang bengis dan kejam. Dia memiliki rupa harimau dan mempunyai peliharaan burung Merak yang membantu memakan kutu di kepalanya yang membuatnya gatal.
   Singkat cerita, Raja Kelanaswandana telah berhasil mempersiapkan tontonan yang menarik dan mengumpulkan kuda kembar, tetapi belum bisa menemukan binatang berkepala dua. Sedangkan Raja Singabarong hanya mampu mengumpulkan kuda kembar. Raja Singabarong berbuat curang dengan berencana merebut apa yang telah diciptakan oleh Raja Kelanaswandana. Mendengar berita itu, Raja Kelanaswandana marah dan menyerbu Kerajaan Lodaya. Raja Kelanaswandana berhasil mengalahkan Raja Singabarong. Selain berhasil mengalahkan Raja Singabarong, dengan  senjata samandiman-nya, Raja Kelanaswandana juga membuat burung Merak yang saat itu sedang mematuk kepala Raja Singabarong menyatu dengan kepala Singabarong. Sehingga kepala Raja Singabarong tampak seperti binatang berkepala dua., yaitu kepala Singa dan kepala Merak. Raja Kelanaswandana akhirnya dapat memenuhi semua persyaratan Dewi Sanggalangit, dan dapat meminangnya. Dewi Sanggalangit diboyong oleh Raja Kelanaswandana ke Bandarangin di Wengker, atau sekarang bernama Ponorogo. Setelah meminang Dewi Sanggalangit, kebiasaan Raja Kelanaswandana yang suka mencumbui anak laki-laki tampan bisa berhenti.
       Itulah cerita singkat dibalik Tari Reog Ponorogo. Sekarang, Reog telah mengalami perkembangan, salah satunya dari adanya alur cerita. Urut-urutan dari Tari Reog Ponorogo, yaitu Warok, kemudian Jatilan, Bujangganong, Kelanaswandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol.
     Melihat dari segi sejarah dan perkembangannya, Reog Ponorogo memang budaya asli milik Indonesia. Barongan di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia hanyalah sebuah tarian yang dibuat oleh masyarakat Jawa di sana yang masih cinta dan peduli dengan Tari Reog. Lantas, siapakah yang disalahkan atas klaim ini? Pada dasarnya tidak ada yang pantas untuk disalahkan, jika semua pihak lebih peduli untuk menjaga dan melestarikan Tari Reog Ponorogo, serta budaya-budaya bangsa Indonesia yang lain. Sehingga tidak ada lagi klaim-klaim dari pihak asing atas budaya kita.

Irwan Suswandi 
Jawa 2011
Peserta UI – Student Development Program 2012

Minggu, 20 Mei 2012

Pendidikanku, pendidikanmu, pendidikan kita, samakah?



Indonesia adalah sebuah negara besar yang penuh dengan kekayaan alam. Kekayaan alam Indonesia, tak terbantahkan lagi oleh negara-negara lain di dunia. Akan tetapi, mengapa kekayaan alam Indonesia itu tidak dapat diolah dengan baik oleh rakyat Indonesia sendiri? Justru negara-negara lainlah yang dengan leluasa memanfaatkan bahkan mengeksploitasi kekayaan alam negara kita. Bagaimana ini? Rakyat Indonesia seakan menjadi tamu di negeri sendiri? Mengapa hal ini bisa terjadi? Ada yang salah dengan rakyat Indonesia?
Salah satu faktor yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak dapat mengolah kekayaan alamnya sendiri adalah karena rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Sumber daya manusia yang rendah? Ya, sumber daya manusia yang rendah merupakan salah satu faktor utama yang dari dulu sampai sekarang masih menjadi permasalahan yang seharusnya bisa diatasi dan diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke 102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Jika hal ini terus terjadi, maka berbagai permasalahan kesejahteraan di Indonesia tidak akan pernah tertangani dengan baik.
Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa sumber daya manusia masih rendah? Adakah faktor yang menyebabkan hal itu terjadi? Ya benar, salah satu penyebab dari rendahnya nilai sumber daya manusia yang rendah adalah karena masih buruknya kualitas pendidikan di Indonesia. Karena faktor inilah yang mengakibatkan sumber daya manusia di Indonesia menjadi sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya. Berbagai permasalahan tentang pendidikan di negeri ini seakan tidak ada habisnya. Permasalahan ini menjadi polemik tersendiri bagi bangsa Indonesia. Bukannya semakin membaik, justru masalah itu semakin ke sini semakin memprihatinkan. Polemik pendidikan bangsa Indonesia ini disebabkan banyak hal. Di antaranya adalah karena masih banyaknya sarana sekolah yang kurang bahkan tidak layak, kualitas guru yang sangat rendah, merebaknya kecurangan yang dilakukan oleh para perangkat sekolah, mahalnya pendidikan sampai masyarakat miskin tak sanggup menjangkaunya, kurikulum yang masih bergonta-ganti, dan masih banyak lagi permasalahan yang terjadi dalam pendidikan kita.
Apa yang dapat kita lakukan sebagai rakyat Indonesia jika mengetahui masalah seperti itu? Memang, permasalahan pendidikan yang terjadi Indonesia sangat terasa saat kita mengampu pendidikan dari dulu hingga sekarang. Berbagai permasalahan-permasalahan dalam pendidikan seakan menjadi makanan sehari-hari, karena begitu kompleksnya permasalahan ini. Sehingga hampir setiap orang pernah mengalami permasalahan ini selama mereka  mengampu pendidikan. Polemik klasik pendidikan di bangsa ini adalah siapa yang mampu membayar sekolah, maka itulah yang dapat memperoleh pendidikan. Pernyataan ini seakan sudah terbiasa terjadi di setiap lingkungan pendidikan di Indonesia. Jika seperti itu terus terjdi, bagaimana dengan mereka yang miskin? Mereka yang tidak punya uang? Akankah niat tulus mereka untuk dapat memperoleh pendidikan yang layak terhalang hanya karena masalah biaya? Hal ini menjadi ironi tersendiri bagi wajah pendidikan bangsa Indonesia.
Bukankah pemerintah telah menggelontarkan program BOS (Biaya Operasional Sekolah)? Tidak cukupkah itu untuk membantu mereka yang miskin untuk bisa sekolah? Memang, pemerintah telah berusaha keras menangani masalah klasik itu dengan memberikan sekolah ‘gratis’ untuk para rakyat miskin bangsa ini yang jumlahnya banyak ini. Akan tetapi, program ini menjadi sia-sia karena pada prakteknya tetap saja ada sekolah yang mengharuskan siswanya untuk membayar biaya sekolah. Sekolah yang seharusnya gratis, menjadi tidak gratis karena orang tua siswa tetap harus membayar biaya sekolah dengan berbagai alasan. Mulai untuk memperbaiki sekolah, pengadaaan buku-buku bacaan, pengadaan fasilitas komputer, dan lain sebagainya. Jika seperti ini, masih ada keadilankah di negeri ini? Apakah adil jika satu sekolah benar-benar gratis, karena sarana dan prasana sekolah telah terpenuhi, dibandingkan dengan satu sekolah lain yang harus membayar iuran setiap bulan karena sarana dan prasana sekolah tersebut kurang layak. Ini menunjukkan kalau pemerataan layanan perbaikan di Indonesia masih sangat kurang. Ini juga menjadi masalah sendiri dalam pendidikan kita. Selain contoh itu, sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh permasalahan dalam pendidikan yang menjadi polemik di bangsa ini. Cukup kompleks memang masalah pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini.
Sikap kita terhadap polemik ini haruslah konstruktif. Jangan sampai justru semakin menjadi destruktif, dalam upaya perbaikan permasalahan pendidikan bangsa ini. Sangat menyedihkan memang, jika kita melihat wajah pendidikan bangsa kita ini. Mengapa negara kita bisa tertinggal dengan negara yang lain, dimana kita seharusnya  bisa sangat unggul karena berbagai sumber daya yang kita miliki. Setiap orang merasa geram dengan berbagai permasalahan yang terjadi di dunia pendidian Indonesia. Ada yang melampiaskannya dengan cara berdemo, serta ada juga yang menyikapi dengan melakukan berbagai aksi sosial.
Banyak pihak telah melakukan berbagai upaya, agar polemik ini bisa cepat terselesaikan. Pemerintah juga telah berusaha keras agar berbagai permasalahan pendidikan bangsa ini bisa tertangani. Namun, usaha pemerintah serta berbagai pihak ini belum begitu efektif jika melihat kondisi pendidikan bangsa Indonesia sampai saat ini. Akan tetapi, kita patut mengapresiasi berbagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah ini. Pemerintah setidaknya sudah peka terhadap masalah ini. Diharapkan pula pemerintah memberikan solusi-solusi yang semakin realistis dalam menyelesaikan polemik yang terjadi dalam pendidikan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, bagaimanakah konstribusi kita dalam upaya menbantu mengurangi polemik yang terjadi dalam pendidikan bangsa ini? Apakah kita cukup bersikap apatis saja? Bukankah kita juga pernah menjadi korban dalam polemik ini? Sepatutnya kita sebagai warga negara Indonesia berperan aktif dalam permasalahan ini. Kita dapat menjadi pionir dalam perbaikan pendidikan bangsa ini. Baik itu dalam bentuk aksi sosial dengan pendirian rumah belajar bagi mereka yang ingin sekali bersekolah tetapi terhalang dana, yang selanjutnya dapat berpartisipasi dalam membantu menghasilkan sumber  daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara global, sehingga bangsa ini menjadi tuan rumah dalam mengolah kekayaan alam bangsa ini. Serta yang paling utama adalah kita sebagai masyarakat Indonesia selalu mendukung dan berkontribusi dalam berbagai program-program pemerintah yang bertujuan untuk perbaikan pendidikan bangsa Indonesia, sebagai upaya penyelesaian polemik yang terjadi dalam pendidikan bangsa Indonesia.

Irwan Suswandi
Jawa 2011
Peserta UI – Student Development Program 2012