Indonesia
memang kaya akan budaya. Tak ada negara yang meragukan akan hal itu. Salah satu
di antara kekayaan itu adalah kekayaan khasanah musik kita. Indonesia memiliki
beragam jenis musik tradisional yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Setiap daerah itu memiliki keunikan tersendiri, baik itu dari segi alat
musiknya, iramanya, fungsinya, dan sebagainya. Salah satu musik yang sangat
dikenal oleh masyarakat Indonesia dari dulu sampai sekarang adalah Musik
Gamelan. Gamelan merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal
yang sering disebut dengan istilah karawitan. Gamelan ini memiliki sistem nada
non-diatonis (titinada [laras] slendro dan pelog) yang garapan-garapannya
menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan
aturan penggarapan dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran
yang indah didengar (Purwadi & Widayat, 2006).
Mungkin
masyarakat awan hanya mengenal Gamelan Jawa. Padahal, Gamelan juga terdapat di
daerah Sunda dan Bali. Sama halnya di Jawa dan Sunda, dimana Gamelan ini tetap
ada, di di Pulau Dewata pun, musik Gamelan tetap eksis dan lestari sampai
sekarang. Bahkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara yang
datang ke pulau seribu dewa ini. Berbeda dengan Gamelan Jawa yang cenderung
lembut dan halus, serta Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi
suara seruling, Gamelan Bali cenderung lebih rancak dan dinamis.
Gamelan Bali atau Gambelan Bali, atau juga dikenal
dengan Karawitan Bali, dibedakan menjadi tiga jenis, berdasarkan zamannya. Ketiga
jenis itu antara lain Gamelan Wayah, Gamelan Madya dan Gamelan Anyar. Gamelan
Wayah atau Gamelan Tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya
didominasi oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang.
Kalaupun mempergunakan kendang, dapat dipastikan tidak memiliki peranan yang
menonjol. Gamelan Wayah ini terbagi atas Angklung, Balaganjur, Bebonangan, Caruk
dan Gambang. Gamelan Madya dan Gamelan Anyar.
Gamelan Madya berasal dari sekitar abad XVI-XIX.
Gamelan ini sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol
(berpencon). Dalam Gamelan jenis ini, kendang sudah mulai memainkan peranan
penting. Yang termasuk dalam Gamelan Madya adalah Batel Barong, Bebarongan, Gamelan
Joged Pingitan, Gamelan Penggambuhan, Gong Gede, Pelegongan, Semar Pagulingan.
Sedangkan Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis
barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Permainan kendang yang sangat
menonjol menjadi ciri khas dari jenis Gamelan Anyar ini. Gamelan Anyar memiliki
beberapa jenis, antara lain Gamelan Manikasanti, Gamelan Semaradana, Gamelan
Bumbang, Gamelan Geguntangan, Gamelan Genta Pinara Pitu, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan
Janger dan Gamelan Joged Bumbung.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menjelajah Desa
Tanjung Benoa yang berada di sebelah selatan Nusa Dua, tepatnya di Desa
Adat Pekraman Tanjung Benoa, Kecamatan
Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, yang tak hanya dikenal karena
pantainya, juga terkenal akan musik Gamelan Angklungnya. Gamelan Angklung
adalah jenis gamelan tua yang terdapat di Bali. Gamelan Angklung ini sempat
sangat populer pada zaman dulu di hampir wilayah Bali. Jenis Gamelan ini
memiliki fungsi utama sebagai pengiring upacara adat di Bali. Gamelan Angklung
dipakai sebagai pengiring upacara Pitra Yadnya (Ngaben), sebuah upacara
kematian untuk umat Hindu di Bali. Adapun Di sekitar kota Denpasar dan beberapa
tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi dengan
Gamelan Angklung, yang menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang dipakai untuk
mengiringi upacara Dewa Yadnya (odalan) serta upacara-upacara keagamaan yang
lainnya. Gamelan Angklung tersebut disebut juga sebagai Angklung Klasik.
Sedangkan saat ini, Gamelan Angklung mengalami perkembangan dari segi
penggunaannya. Selain Angklung Klasik untuk upacara Ngaben, juga terdapat
Angklung Kebyar, yang berfungsi sebagai musik pengiring tari-tarian dan juga pagelaran
drama di Bali. Meskipun begitu, dibandingkan dengan jenis musik gamelan yang
lain, Gamelan Angklung dianggap sebagai musik gamelan yang sakral, karena masih
digunakan sebagai pengiring upacara adat sampai saat ini.
Gamelan
Angklung memiliki laras Slendro yang dibentuk oleh instrumen berbilah dan
pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah angklung bambu kocok (yang berukuran
kecil). Di wilayah Bali, penggunaan nada dalam Gamelan Angklung memiliki
sedikit perbedaan. Di Bali Selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada
sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada. Pada festival-festival Pura,
keriangan melodi 4-nada gamelan angklung dimainkan dengan alunan kontras dan
sakral dengan komposisi lelambatan yang seringkali terdengar dimainkan terus
menerus.
Dalam Gamelan Angklung, terdapat nama-nama untuk
setiap tabuhannya, seperti tabuh Asep Menyan, Capung Manjus, Capung Ngumbang, Dongkang
Menek Biu, Guwak Maling Taluh, Sekar Jepun, Berong, Sekar Ulat, Glagah
Katununan, Jaran Sirig, Kupu-kupu Tarum, Meong Magarong, Pipis Samas, Sekar Sandat,
Cecek Magelut. Selain itu juga, Barungan Gamelan Angklung klentangan terdiri
dari 3 pasang : Pemade, Tiga pasang kantil, Empat tungguh reong, Sepasang
jegogan, Sebuah tungguh kempul, Sebuah kelenang, Sebuah tawa-tawa, Sebuah
suling atau lebih, Sepangkon ricik, Sepancar genta orag dan sepasang kendang
lanang,wadon berukuran kecil. Beberapa instrumen juga terkadang ditambahkan
seperti jublag, kendang gupekan, kempur,kemong,dan gong. Secara umum tungguhan gamelan angklung pada
waktu lampau masih berbentuk lelengisan, dan hanya dipernis, tetapi dewasa ini
kita lihat sudah diprada sebagaimana Gong Kebyar. Secara fisik pada awalnya angklung menggunakan empat
bilah nada, kemudian para senimannya pada perkembangannya menambahkan lagi
beberapa bilah untuk mendukung kebutuhan komposisi lagu. Perubahan atas
bertambahnya bilah nada dalam gamelan angklung adalah tidak terlepas dari
factor terkena imbas dari pengaruh gender wayang dan dan factor kedua adalah
karena ada difungsikan untuk mengiringi Joged Bumbung (Sudirga,Komang, 2004, 2).
Desa Adat Tanjung Benoa adalah salah satu wilayah di
Bali yang sangat aktif melestarikan Gamelan Angklung ini. Hal ini dapat dilihat
dari adanya sebuah organisasi tradisional yang memiliki tujuan sosial.
Organisasi itu dikenal dengan nama Seeke Angklung Segara Putra. Sekee ini
berada di lingkungan Desa Pekraman Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kabupaten
Badung. Organisasi ini membantu secara
sukarela kepada masyarakat yang membutuhkan iringan musik Gamelan Angklung
untuk mengiringi upacara. Mereka secara sukarela membantu tanpa meminta pamrih.
Sebenarnya, apabila ada yang ingin menyewa Gamelan Angklung, mereka harus membayar
uang sewa. Tetapi melalui organisasi ini, mereka tidak membayar sama sekali
untuk menyewa Gamelan Angklung ini.
Belakangan ini, Gamelan Angklung mengalami
berbagai perubahan. Tidak hanya berupa
bentuk fisik instrumentasinya, tetapi juga terjadi perkembangan repertoar dan
fungsi, di dalam konteks kehidupan sosial masyarakat di Bali. Hingga sampai
saat, Gamelan Angklung telah diangkat untuk ajang sebuah kreativitas, yang
dapat tampil sebagai Angklung Kebyar dan angklung dengan kreativitas seni
modern.
Itulah Gamelan Angklung, yang eksistensi masih
terjaga sampai saat ini, terutama di Desa Tanjung Benoa. Keeksistensiannya tak
lepas dari perubahan-perubahan yang terjadi pada Gamelan Angklung ini. Tak
hanya sebagai sebuah alat untuk mengiringi upacara keagamaan, yang mengiringi
jenasah menuju alam baka, tetapi juga telah mengalami perubahan sebagai sarana
pengiring tari-tarian dan pagelaran drama, yang kehadirannya menambah nilai
keindahan tersendiri di setiap pementasannya. Tentu saja ini merupakan sebuah
inovasi yang dilakukan oleh seniman-seniman Bali, untuk tetap menjaga dan
melestarikan Gamelan Angklung, yang secara historis mengandung nilai sejarah
yang sangat tinggi mengingat jenis gamelan Bali ini merupakan yang tertua
dibandingkan dengan jenis-jenis gamelan Bali yang lain. Kegemaran masyarakat
untuk memainkan Gamelan Angklung sampai saat ini, merupakan nilai tersendiri
yang menjadi nilai tambah bagi keberhasilan para seniman Bali ini.
Semoga apa yang telah dilakukan oleh para seniman di
Desa Tanjung Benoa dalam melestarikan Gamelan Angklung ini dapat ditiru dan
menjadi teladan bagi seniman-seniman dari daerah lain, agar warisan luhur bangsa
ini dapat tetap lestari dan digemari oleh masyarakat sejalan dengan
perkembangan zaman yang sangat dinamis ini.
Irwan Suswandi
Sastra
Daerah untuk Sastra Jawa 2011
Peserta
UI – Student Development Program 2012